8.24.2008

Pelangi dan Seorang Wanita


Sudah lama aku tak melihat pelangi. Seharusnya, ia muncul sehabis hujan. Dan, pada saat seperti inilah seharusnya juga ia ada-bersama dengan rinai hujan yang kalau dirumuskan dengan metafisika : pelangi akan ada bila gerimis yang jatuh tertimpa olehsinarmatahari. Karena sifat dari warna putih (katanya, suci) ia akan menghasilkan beragam warna-warni-entah, itu merah, kuning, hijau, dan beberapa warna lainnya. Pelangi itu tak pernah ada, selama hampir 2 tahun ini. Padahal, aku selalu menunggunya. Lama, sekali. Dan, 2 musim hujan sudah terlewati. Sebenarnya, aku juga tak terlalu berharap banyak untuk menjumpai pelangi-agar bisa menatapnya sesuka hatiku. Barangkali, hal itu bisa menempatkan suasana baru di jiwaku yang terus-terusan rawan. Aku masih menunggu pelangi itu datang. Dan, bila hujan turun, jatuh menyentuh kaca jendela. Aku usap embun di kaca sambil memandang keluar. Melihat di belahan ujung bumi sambil berharap agar ada pelangi di ufuk sana. Entah, itu di Timur, Barat,Utara atau Selatan sekalipun aku pasti dengan setianya menunggu. Memandang keluar jendela saat hujan turun-- seolah-olah masa kanak-kanakku yang ceria hadir lagi, merengkuhku-- memaksaku untuk mengulanginya.


Di kamar ini pikiranku mati, walau jasadku hidpu. Aku setel sebuah kaset. Gila, lagu itu lagi yang mengalun. Kau ayu... bertudung pelangi senja..... Aku mencoba balikkan kaset-- aku putar lagi, tapi lagu itu juga yang terdengar di telinga. Aku cepatkan kaset, masih juga lagu itu yang terdengar. Aku banting tape itu, pecah-berkeping-keping , berantakan dan masih saja lagu itu yang terdengar. Aku tenggelam tak bertepi dengan lagu yang terus berputar di atas kepala, memutari langkah hidupku. Memutari cermin diri yang lama rusak.
"Apa kau percaya adanya pelangi ?", tanyaku
"Ya", ia berujar singkat padaku
"Tapi, ada hal yang aneh, dan mungkin kau tahu. Sekarang 'kan sudah musim hujan"
"Ya. Lalu ?" "
Aku tak pernah melihat pelangi, kalau kau ?"
"Ah, masa sih. Bukankah setiap habis hujan pasti ada pelangi. Kemarin saja aku melihatnya. Sehabis hujan deras di sore hari. Pelangi itu begitu indah walau ia hanya berbentuk setengah lingkaran di ujung bumi "
"O, ya"
"Yups"
"Kau melihatnya di sebelah mana ?"
"Barat"
"Barat, mana ?"
"Ya, Barat tempat dimana matahari tenggelam "
"Oooo..."

Sore hari berikutnya hujan deras tiba. Jatuh mengguyur bumi. Membasahi tanah. Membasahi rerumoputan. Membasahi jalanan. Membasahi hati kita yang telah lama kering. Aku menunggu agar pelangi itu tiba, sebagaimana seorang wanita menunggu kekasih hatinya. Tapi, pelangi itu tak pernah muncul. Aku sempat frustasi saat itu. Padahal dengan telatannya aku menanti. Eee, dia tak juga tiba. Aku mogok makan dan mandi selama beberapa hari. Tapi, karena aksi mogok yang kulakukan tidak diindahkan-Dan , juga karena aku sudah merasa sangat-sangat lapar. Bayangkan saja, aku bela-belain tidak makan selama 2 hari-- segera saja aku santap hidangan di meja. Aku segera masuk ke kamar mandi. Aku bilas tubuh kotorku. Entah, sudah berapa lama aku tak membilas kekotoran ini. Malam hari, hujan masih turun, matahari sudah lama tenggelam. Bulir-bulir air yang jatuh dari langit itu menjadi sangat berharga. Aku teringat seorang wanita. Yeah, sebuah kenangan dan perjalanan. Aku masih ingat pada saat aku utarakan cinta, ia hanya tersenyum.

"Aku suka kamu?" ia menatapku terbelalak
"Apa yang kau suka dariku ?"
"Ya, semuanya. Rambutmu yang bagus. Apalagi saat disanggul, ingin aku bisa menyanggulnya. Mestinya aku punya kuping yang kecil agar tak menghalanginya. Aku suka kamu pada saat menggigit bibirmu apabila sedang gelisah"
"Lalu..."
"Ya, aku suka kamu" , ia hanya berlalu, pergi-- dari hadapanku
"Aku bisa membuatmu, lho...", aku berteriak kencang saat ia pergi
"Apa ?" "Jatuh cinta kepadaku..." dan ia tersenyum lagi. Aku tak tahu apa hatiku juga sedang tersenyum. Entahlah. Mengapa aku begitu mudah jatuh hati, tergila-gila pada seseorang. Dasar, cinta. Monyet!! Pernah suatu kali aku meneleponnya. Memberi tahu padanya bahwa aku sangat- sangat merindukannya. Ah, dunia yang lelah.
"Hallo?"
"Hallo..eh.. kamu Boy apa kabarnya ?"
"Baik"
"So, sekarang kamu lagi ngapain ? Apa pekerjaan kamu terakhir?"
"Ya, begini ini luntang-lantung tak karuan"
"Boy, aku rindu kamu"
"Sama dong aku juga.."
"Terus..."
"Ya, terus apa ?"
"Bisa ketemu kamu nggak?"
"Mungkin"
"Ha, mungkin apa maksudnya"
"Ya, kalau ada umur yang tersisa"
"Well, kapan ? "
"Gimana kalau besok malam"
"Oke, jam 7 kita makan di restoran kesukaanku. Kau jemput aku, ya.."
"Sip.."

Di kota itu kata orang, gerimis telah jadi logam. Di bawah cahaya haripun bercadar, tapi aku tahu kita akan sampai ke sana. Dan, kita bercinta tanpa batuk yang tersimpan, membiarkan gumpal darah di dalam gelas itu menghijau. Dan, engkau bertanya mengapa udara berserbuk di antara kita? Apakah cinta itu indah ? Atau hanya sebuah ilusi mata ? Yang datang pada saat kita masih bangun tidur. Masuk saja, tanpa permisi. Apa sih cinta itu koq aku masih bingung ? Apakah bila suka sama seseorang itu cinta ? Dan, dari mana rasa itu datang ? Rasa-rasanya hal itu terjadi secepat kilat-- perasaan itu masuk ke dalam kalbu. Tak terelakkan. Tuhan memang Maha Pencipta yang Paling Sempurna. Dengan sempurnanya Dia ciptakan manusia ini. Wajahnya, yang tak pernah pucat. Ceria, walau kadang-kadang ia bertingkah layaknya anak kecil. Dengan suaranya yang manja, menggoda-tak tahu, sudah berapa pria yang terpikat karena suara menelnya itu. Rambutnya sebahu, kulitnya putih. Terang saja aku merindunya. Terang saja aku mendambanya. Karena dia... begitu indah...

Ira Rosnita, aku juga tak tahu mengapa namanya seperti itu. Mungkin, itu bukan urusanku tapi, kepentingan orang tuanya yang memberikan nama ketika ia lahir. Dari namanya saja sudah ada unsur mawar. Seperti Oom Shakespeare bilang "mawar dengan nama apapun tetap harum wanginya", tak peduli ia hidup di tempat yang kotor, di tumpukkan sampah, atau di rawa-rawa.
"Ceritakan padaku kisah hidupmu", kataku suatu ketika aku jalan dengannya, memandangi kota saat senja tiba. Di dalam restoran kesukaannya. Bla-bla-bla ia bercerita panjang lebar.
"Tahu nggak?",ia berujar sambil menyeruput orange juice
"Apa?" "Waktu kecil, aku sering mandi hujan... "
"O. ya.."
"Ya, bener lho. Padahal aku seorang wanita. Dan, itu juga kulakukan sembunyi-sembunyi-- agar tidak ketahuan Ayahku"
"Mengapa ?"
"Kau tahu 'lah disini, Indonesia. Pamali, kata orang tua, tidak pantas bila seorang wanita mandi hujan. Itu 'kan kerjaannya anak laki-laki" "Lantas?"
"Ya, aku nekat"
"Koq.."
"Habis, mandi hujan itu enak sih. Kita dapat mebebaskan diri kita" "Tapi, kamu 'kan waktu itu masih kecil. Emangnya, kamu merasa terkekang, Ra..."
"Ya, itulah dari kecil orang tuaku selalu membatasi ruang gerakku, bahkan sampai sekarang , sampai aku sudah besar begini masih dibatasi dalam bergaul dengan orang-orang di sekitarku"
"Berarti kamu menyukai hujan ?"
"Ya, begitulah. Bagiku, hujan seakan memberikan keteduhan hatiku yang pengap"
"Pengap oleh apa ?"
"Koq, kamu nanya seperti itu melulu sih kaya' polisi aja "

Sejak pertemuan itu aku jadi terus-terusan memandang hujan yang turun. Tak peduli dimanapun aku berada. Pokoknya, pada saat hujan tiba. Entah, di perjalanan pulang ke rumah, di dalam kamar, atau di tempat-tempat umum. Setiap ada hujan aku berhenti sekitar 5-10 menit, aku rasakan udara dingin yang dibawa hujan. Aku raba dan hirup dalam-dalam berharap, agar ia merasakannya juga.
"Kringgg...", lamunanku buyar akibat suara telepon itu. Aku angkat
"Hallo..."
"Halo, Boy apa kau lihat gerimis diluar" ,aku pandang jendela bening di depanku "Ya.." "Kau lihat ada pelangi ?" Aku letakkan telepon, kuhampiri mulut jendela. Aneh. Aku kucekkan kedua mataku, tak percaya. Aku melihat lagi pelangi. Busur di ujung langit itu ada di pelupuk mata. Warna-warna yang terpancar indah. Merah-kuning-hijau. Aku tertegun-- lama sekali. Aku tersentak, aku angkat lagi gagang telepon
"Hallo, Boy kamu masih disitu"
"Ya"
"Lama banget, sih angkat teleponnya"
"Habis..."
"Habis apa ?"
"Ah, nggak .."
"Apa? Coba tell me, dong. Aku 'kan sudah tahu kamu.." ia mengejar dengan sangat manjanya. Aku tak bisa lagi menghindar
"Sudah lama aku tak lihat pelangi"
"Lalu..." "Ya, itu aku juga heran. Koq, tiba-tiba sekarang aku bisa melihatnya"
"Karena aku memberi tahu ada pelangi ", ia menyela.
"Mungkin, kita jalan yuk ..."
"Kemana ?"
"Ke restoran kesukaan kamu"
"Hujan-hujan begini ?"
"Ya, aku jemput deh"
"Tapi, masih gerimis"
"Tak masalah"
"Memang, kamu mau apa ?"
"Ya. Memandang pelangi sama kamu. Kamu suka 'kan lihat pelangi. Aku jemput kamu, ya ?"
"Kapan ?"
"Ya, sekarang"

Sore hari, sudah hampir habis. Aku keluar rumah tanpa jaket. Aku tantang gerimis. Masa, bodoh. Aku tancapo sepeda motor bututku. Lampu merah kuterjang. Untung polisi tidak ada. Batinku meronta kegirangan. At least, I can see the rainbow. It's yang miracle. Thank's god. Ku lihat di Barat senja sudah berangkat. Matahari hampir tenggelam. Jam ditanganku menunjukkan pukul 6 sore.

"Berjanjilah padaku, Boy.."
"Apa?"
"Bahwa kau mencintaiku seperti pelangi..."
"Mengapa ?"
"Pelangi itu jarang terlihat paling lama hanya setengah jam"
"Koq, kamu menyamakan cinta dengan pelangi"
"Abis, pelangi indah, sih.. tapi, ia sejati muncul pada saat manusia sedang gelisah dengan warna"
"Dan, pelangi tak abadi" sambungku
"Biar, yang penting indah", aku hanya terdiam. Tak bisa berkata apapun apabila ia sudah berujar lewat egonya. Di pojok restoran, di pojok sebuah dunia. Kami tatap pelangi itu dalam-dalam sambil melihat sang mentari yang sebentar lagi tenggelam. Orang-orang di dalam restoran hanya keheranan melihat tingkah kami berdua. Masa bodoh, dunia memang selalu curiga bila ada orang yang bersikap tak sewajarnya. Waktu berlalu. Bergulir dengan cepat, secepat busur panah. Aku tak sanggup lagi mengejar putaran waktu yang berjalan seperti ini. Aku merasa terus-terusan tertinggal. Bagaimana mau masuk era globalisasi?-sedang diriku terasa berada jauh di bawah kemampuan orang lain. Kesibukan terus saja melanda. Aku sibuk, dia juga sibuk. Jarang, bahkan hampir tak pernah bertemu muka lagi. Seperti dulu, makan bersama di restoran pinggiran kota-sambil melihat air hujan yang jatuh dan mengagumi pelangi yang turun. Musim hujan telah berlalu-bahkan hujan tak lagi datang. Bagaimana ada pelangi bila hujan tak ada ? Hujan kini sudah benar-benar tak turun lagi. Orang-orang sudah banyak yang memaki keadaan ini. Kemarau berkepanjangan. Semua sektor kehidupan jadi mati tak berdaya.
"Masa, sih musim kemarau sekarang sudah berlangsung hampir 3 tahun" seorang ahli cuaca membeberkan argumentasinya di TV. Orang-orang pintar pura-pura kelimpungan.

Di kantor-kantor mesin pendingin banyak yang dimatikan guna menghemat pasokan air yang ada. Tanah sudah pecah-pecah, tanda musim kering yang kian menjadi. Banyak yang mempercayai kalau kota ini memang sudah kebanyakan dosa. Panas matahari terasa sangat terik. Mencekik leher. Berita-berita di koran, majalah, dan televisi menggambarkan penderitaan orang-orang yang terkena dampak dari kemarau ini. Suatu hari, entah hari apa, jam berapa. Orang-orang berteriak kesenangan. Langit mulai gelap. Udara dingin yang lama dinanti akhirnya datang juga. Kilat menyambar di udara. Bulir-bulir air mulai turun dari mega yang kelam itu. Perlahan tapi pasti rintik-rintik air satu per satu turun, lama kelamaan berubah menjadi deras. Seluruh kota kembali basah. Masyarakat banyak yang keluar rumah sekedar menikmati air yang jatuh. Mereka menari- nari bersorak kegirangan. Mandi hujan. Wajah kota kembali ceria. Aku masih disini, di dalam kamar ini, memandang hujan yang jatuh itu. Melongok keluar jendela. Pandangi air yang tumpah-ruah. Sambil, berharap sehabis hujan semoga ada lagi sebuah pelangi untukku. Dan, memang hidup adalah sebuah perenungan panjang...

0 komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com