8.25.2008

Sang Pemimpi


Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang
dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak
sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung
di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit,
matahari rendah memantulkan uap lengket yang
terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang
pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan
ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut
yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca
gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti
reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut
dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku
terkurung, terperangkap, mati kutu.

Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama
punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat-
jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku
tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari
peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan
rasa takut.
Jimbron yang tambun dan invalid—kakinya panjang
sebelah—terengah-engah di belakangku. Wajahnya
pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilatkilat.
Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh kejadian
ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la
lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam situasi apa
pun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja
berlari semburat, pontang-panting lupa diri karena dikejar-
kejar seorang tokoh paling antagonis.
Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah sepatu
terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi
kerang-kerang halus.
Kami mengendap. Tersengal Arai memberi saran.
Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. "Ikal....
Aku tak kuat lagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian
lihat para-para itu...?"
Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depan
sana teronggok reyot pabrik cincau dan para-para jemuran
daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya,
dahan-dahan bantan merunduk kuyu menekuri na-
2
sib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja. Salah satunya
aku kenal: Laksmi. Seperti laut, mereka diam.
Dangdut India dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk-
liuk pilu dari pabrik itu.
"Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A
Lung, dan membaur di antara para pembeli tahu, aman
3
What a Wonderful World
Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya,
ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk
melempar kepalanya.
"Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama
sekali! Jimbron mau kauapakan??!!"
Jimbron yang penakut memohon putus asa.
"Aku tak bisa melompat, Kal...."
Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik
para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo, Tionghoa
tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang
saudara. Ratusan tahun mereka menanggungkan
sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit,
mereka jadi antek Kumpeni, ganas menindas orangorang
Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati
Belanda, dan dijauhi orang Melayu membuat mereka
selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan
anjing untuk mengejar orang yang tak dikenal.
Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron,
dan Arai tinggal di salah satu los di pasar kumuh
...."
Sang Pemimpi
ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami
menjadi kuli ngambat—tukang pikul ikan — di dermaga.
Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana
mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa
terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi sekeliling.
Pancaran matahari menikam lubang-lubang
dinding papan seperti batangan baja stainless, menciptakan
pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung
melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap.
Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini,
musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh
langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak
berhenti sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan
kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun
depan.
Semuanya gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan
selanjutnya

0 komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com